Rabu, 21 Maret 2012

30 MENIT (written by Sei)

30 Menit
Written by FR.KL


“Apa kabar, Yud?”
“Buruk. Kepalaku rasanya semakin berat saja. Kenapa, Dok?”
”Tak apa, aku hanya memastikan saja. Ingat, jangan tidur terlalu malam sore ini. Kondisimu semakin memburuk dari hari ke hari, Yud.”
”Ya, aku tahu, Dok.”
”Yud, berhenti memanggilku Dok! sudah berapa kali aku katakan padamu, aku Sigit, sahabatmu satu kelas di SMA dan sahabat seperjuangan di Fakultas Kedokteran. Jadi tak perlu ada formalitas diantara kita, mengerti? Lagipula kau sendiri adalah seorang Dokter, bukan?”
”Dokter Yudha, spesialis ginjal. Hahaha, lucu, Git. Sudah lama rasanya aku tak dipanggil dengan gelar seperti itu.”
”Kau memang tak pernah berubah, Yud, masih sama seperti dulu. Meskipun kau kehilangan banyak darah dalam insiden tiga hari yang lalu. Semangatmu masih sama dengan Yudha yang biasanya aku kenal.”
”Benarkah? Hmm, mungkin aku menjadi sedikit gila gara-gara masalah itu. Sehingga tanpa sadar aku melepas begitu saja selang infusku kemarin dari tanganku. Dan membiarkan pembuluh arteriku terbuka semalam suntuk.”
”Sudahlah, Yud, tak usah kau pikirkan lagi masalah itu. Dia sudah pergi, tak ada gunanya kau sesali. Aku tahu yang kau rasakan, tapi mau bagaimana lagi. Sudahlah.”
”Ya. Aku tahu. Terimakasih, Git.”
”Lekas istirahat, jangan terlalu sering memikirkan hal yang tidak penting. Ya sudah, aku tinggal dulu. Lekas sembuh.”
Sore itu aku kembali dalam kesendirianku di kamar nomor 10 ini. Ingatanku seakan flashback ke masa-masa dulu SMA yang aku alami. Gila. Ya, satu kata yang menggambarkan bagaimana aku menjalani hari-hari menjelang kelulusan dulu. Sampai sekarang aku masih belum bisa melupakannya. Rissa, ia hampir telah mengambil sebagian besar dari kehidupanku. Dan setelah lulus pun, ia meninggalkan aku begitu saja. Seakan tak pernah terjadi apa-apa di antara kita.
Hari demi hari aku lalui selama ini tanpa ada kabar lagi darinya. Terakhir aku dengar dari Sigit, ia telah bahagia bertunangan dengan Rusli, sahabatku yang dulu juga pernah menjadi teman sepermainanku. Kala itu, Sigit bertanya padaku,
“Yud, kau masih menyimpan liontin hati dari Rissa?”
”Ya, kenapa? Hanya itu yang tersisa dari dia untukku.”
“Kau tak ingin membuangnya? Ia telah bertunangan dengan Rusli.”
“Jangan menyuruhku melakukan sesuatu yang jelas-jelas takkan pernah aku lakukan. Git, tanpa kau beritahukan padaku pun aku sudah menduga hal itu akan terjadi.”
“Lalu kenapa kau masih mengharapkannya datang menemanimu pada 2 hari terakhirmu, Yud?”
“Entahlah, aku harap masih ada sisa bayanganku di hatinya.”
“Kalau tidak?”
“Aku hanya akan diam. Dan menunggu kehadirannya, sampai waktuku tiba.”
“Yud, andai waktumu masih panjang, mungkin kau masih sempat menyaksikan orang yang kau cintai menikah dengan orang yang dicintainya.”
“Aku tak berharap itu, Git. Yang ada tubuhku akan semakin merasakan sakit bila melihatnya. Cukuplah ia bahagia tanpa mengetahui kondisiku yang sebenarnya.”
“Yud, semoga ia dapat merasakan penderitaanmu saat ini.”
“Tidak, aku hanya mengharapkannya datang padaku, walaupun kehadirannya nanti mungkin bertepatan pada sisa 30 menit hidupku di dunia.”
Hanya itu yang mampu aku ucapkan tatkala mendegar kabar gembira itu dari mulut Sigit. Aku terdiam. Terhenyak. Tapi ada sedikit rasa bahagia dalam diriku ketika mendengar Rissa sebentar lagi akan menikah dengan Rusli, orang yang selama ini hadir dalam mimpi Rissa dan menemani hari-hari bahagianya tanpa kehadiranku di sampingnya.
Tanpa aku sadari kepalaku terasa semakin sakit. Jantungku berdegup kencang sekali. Aliran darahku terasa tak beraturan karena penyempitan di pembuluh arteriku seakan semakin menjadi-jadi. Sial, penyakit jantung koroner ini membuatku semakin tersiksa lagi.
”Dokter Sigit, pasien di kamar nomor 10....”
Ya. Sudah aku duga. Segera siapkan selang oksigen dan ruang operasi.”
Belum sempat seorang perawat melaporkan kondisiku saat itu, Sigit telah mengerti tentang apa yang terjadi padaku. Ia memang sahabat yang mengerti aku sepenuhnya. Sampai pada penyakitku pun ia mempelajarinya sejak SMA dan akhirnya kinipun aku benar-benar menjadi pasiennya.
”Terlambat, kondisinya sudah sangat tidak memungkinkan.”
Samar-samar aku dengar suara lirih dari Sigit. Dan tanpa sadar, seakan ada kekuatan yang mendorongku untuk berkata-kata, mulutku pun terbuka dan mulai bertanya.
”Git, berapa sisa waktu yang aku punya?”
”Cukup YUD! Jangan memforsir tenagamu lagi, walau hanya untuk berbicara satu kata pun!”
”Tak apa, Git. Katakan saja.”
”Baiklah, waktumu hanya tersisa 30 menit saja. Lalu apa rencanamu?”
”Entahlah. Ia tak datang?”
”Siapa?”
”Rissa.”
”...”
Sigit hanya terdiam saat aku menyebut nama Rissa. Ia tak tahu apa yang harus dilakukan. Ia tahu, hanya Rissa yang mampu membahagiakanku di akhir 30 menit hidupku ini. Entah apa yang terjadi berikutnya, aku tak mampu merasakan lagi.
Penglihatanku tiba-tiba menjadi tidak jelas. Tanganku gemetaran. Aku mati rasa. Yang bisa aku lakukan sekarang hanyalah mendengar, melalui indera pendengaranku yang juga semakin menurun kemampuannya.
”Ri..Rissa?!”
Sayup-sayup aku mendengar Sigit menyebut nama Rissa. Aku tahu aku tak mampu mendengar dengan jelas lagi, tapi suara Sigit terlalu nyaring untuk tidak terdengar oleh telingaku.
”Apa aku terlambat, Git?”
”Tidak, kau datang tepat pada 30 menit sisa hidupnya. Tapi terlambat bila kau ingin menyampaikan sesuatu padanya. Ia sudah seperti mayat hidup. Tak mampu menggunakan semua inderanya lagi.”
”Separah itukah..?”
“Ya. Dan ia mengharapkan kehadiranmu disisinya, walau hanya sebentar, sebelum ia pergi meninggalkan dunia, Ris.”
“Yudha, aku takkan pernah meninggalkan dia. Dan sekarang dia yang akan pergi meninggalkan aku selamanya. Git, andai ia masih mampu mendengar. Aku ingin menyampaikan kabar yang mungkin selama ini ia tunggu-tunggu.”
”Percuma Ris, tak ada gunanya kau sampaikan saat ini. Sudahlah, kau tunggu
saja di kursi depan. Biarkan aku melakukan penanganan terakhir pada Yudha.”
“Tapi.. Pesanku ini adalah obat yang selama ini ia butuhkan, Git”
Sigit bodoh! Aku masih bisa mendengar percakapanmu dengan Rissa! Andai kau tahu, Git, aku ingin mendengar suara Rissa lebih lama lagi. Biarkan ia menyampaikan kabar yang ingin disampaikannya padaku itu!
”Git, apakah kau menyampaikan pada Yudha tentang pertunanganku dengan Rusli?”
”Ya. Aku dengar dari teman-teman sekelas kita dulu. Katanya sebentar lagi kau akan menikah dengan Rusli.”
”Kapan kau mendengar kabar itu?”
”Sekitar seminggu yang lalu.”
”Bodoh. Kau tahu, aku telah membatalkan pertunanganku dengan Rusli.”
“Hah? Tapi, mengapa?“
“Entahlah. Mungkin karena hatiku telah berkata tentang sesuatu.”
”Dan hanya karena itu saja kau membatalkan pertunanganmu dengan Rusli?”
”Ya. Kenapa? Aku benar-benar yakin dengan kata hatiku, Git.”
”Ris, bolehkah aku tahu sesuatu yang dikatakan hatimu itu?”
”Tentu saja. Semoga Yudha juga mendengarnya.”
”Aku rasa ia masih bisa mendengar, Ris.”
Aku masih disini, Rissa!
Aku masih bisa mendengarmu. Cepatlah katakan padaku, sebelum malaikat pencabut nyawa datang menghampiriku!
”Yudha, kau adalah lelaki yang seharusnya aku pilih sejak dulu. Kau adalah sosok yang sebenarnya selama ini aku butuhkan untuk melengkapi hidupku. Tolong, jangan pergi meninggalkan aku sendiri tanpamu lagi. Aku mencintaimu, Yud.”
Aku pun mencintaimu, Rissa. Tubuhku tak mampu bergerak lagi. Nyawaku seperti diangkat dari tubuhku. Selamat tinggal, Rissa.

1 komentar:

Ayu Afra mengatakan...

kok namanya sama kayak ceritaku?? rissa..

Posting Komentar