Jumat, 02 Maret 2012

HUJAN DAN SEI (Posting Cerita ke-2)

HUJAN DAN SEI..
Hujan. Adalah salah satu peristiwa alam yang menjadi trending topic akhir-akhir ini. Kedatangannya dinanti ketika sang kemarau mulai merasa nyaman duduk di singgahsana musim dunia. Tetapi ketika hujan sudah datang, ia justru membawa masalah bagi sebagian orang yang bersahabat dengan satu bencana yang bernama ”banjir”. Lepas dari itu, hujan tetap memiliki pesona tersendiri. Bukan hal baru jika hujan selalu dikaitkan dengan sesuatu yang bersifat romantis. Hujan memiliki sihir yang bahkan dapat merubah orang berwatak keras menjadi sentimentil. Pesona hujan menghipnotis kita menjadi pribadi yang melankolis. Hujan akan mengangkat endapan kenangan yang mulai mengeras di dasar pikiran kita. Entah kenangan bahagia atau kenangan pahit tentang kehidupan masa lampau yang tak ingin kau ingat atau bahkan kau hapus.
Hari ini hujan dan kenangan tentang seseorang yang telah lama mengendap di dasar pikiranku kembali muncul. Terapung-apung dan mengirisku tipis-tipis. Kenangan tentang seseorang yang kusimpan rapat-rapat dalam di dasar hati, di ruang tak berpintu agar ia tak bisa keluar. Seseorang yang kutemui di pagi yang cerah dan di malam-malam gelap - seseorang yang kusebut Sei. Sei yang penuh semangat. Sei yang pandai. Sei yang cemerlang. Sei yang melambungkanku ke padang awan putih. Dan Sei yang menjatuhkanku hingga ke lapis tanah ke tujuh.
Suatu malam di bulan April, beberapa hari sebelum Sei pergi meninggalkan kota kecil di mana kami tinggal. Malam yang gelap dan berawan. Aku dan Sei berkeliling menyusuri jalanan kota dengan sepeda motornya. Di belakang kemudinya, aku dapat melihat tubuh Sei yang kurus dan tinggi. Aku dapat mencium aroma parfumnya yang begitu lekat di hidungku dan membuatku candu. Kemudian hujan turun perlahan. Titik-titik, kemudian menjadi besar. Motor terus melaju. Meninggalkan pepohonan yang mengecil dan terkabur hujan, meninggalkan lusinan motor lain yang terus berlalu lalang. Dalam hati aku bertanya, “Mengapa aku menyukai, Sei?”. Belum selesai aku berpikir, tiba-tiba aku merasakan tangan Sei terulur meraih tanganku ke genggamannya.  “Jangan menyukai laki-laki sepertiku, Ai” katanya lirih. Tapi telingaku dapat menangkapnya dengan jelas walau di sela gemerisik hujan. “Aku datang dalam hidupmu. Memberimu sepenggal cerita. Kemudian meninggalkanmu dengan wanita lain. Mengapa kau tak marah padaku? Mengapa kau tak membenciku?” katanya dengan suara yang semakin lirih. Mataku memanas. Air mata yang sejak tadi kutahan mengalir tak terbendung lagi. Tapi Sei tak akan tahu karena hujan mengaburkan air mataku. Ya, hujan menyapunya hingga tak berbekas. “Sei, tanganmu dingin sekali” kataku mengalihkan pembicaran, berharap Sei mengerti bahwa aku sedang tak ingin membicarakan hal itu. Tapi Sei hanya membisu, diam tanpa kata. Dingin seperti hujan yang menghujam bumi.
Kemudian Sei menghentikan motornya di bahu jalan. Di bawah binar lampu pucat Sei berkata, “Jangan menangis lagi. Bagaimana jika nanti aku pergi? Bagaimana jika nanti aku tak ada di sampingmu tetapi bersama yang lain? Oh, Ai..” Sebelum ia menyelesaikan kalimatnya, aku berkata, “Aku tetap menyukaimu, Sei. Hari ini, esok, dan  untuk waktu yang tak terbatas. Esok kau akan pergi  dan melupakanku. Tak apa. Tapi bagiku, Sei selalu ada di sini. Di dalam hatiku..”
Waktu terus berjalan. Aku tak pernah bertemu Sei sejak malam itu. Tapi bayangan Sei selalu datang. Datang ketika hujan menghujam bumi. Aku tetap menyukai Sei. Seperti aku menyukai hujan.(ast)



0 komentar:

Posting Komentar