Sabtu, 12 Mei 2012

MALAM YANG AKAN BERAKHIR (First poem)


MALAM YANG AKAN BERAKHIR
written by : Astri P.L
Sinar bulan yang pucat
Temaram lampu kamarku
Kunang-kunang yang membawa setitik sinar
Mengapa mereka berkata aku serumit benang?
Suaraku hatiku lah terdengar orang lain
Bahkan aku pun tak berbisik
Pohon tua yang tertutup kabut esok pagi
Mereka melihat dengan mata
Aku melihat dengan mata..
Mata hati yang tak pernah lelap
Mereka berbicara dengan rangkaian kata
Aku berbicara dengan rangkaian
Rangkaian perbuatan yang kulukis berurutan
Tapi burung pun tak membaca yang kutulis
Buku itu usang dan berdebu
Menguning karena tak ada tangan yang membuka
Hati yang hangat telah berlabuh di dermaganya
Sauhku tak terlihat
Atau hati itu memilih dermaga yang penuh kilatan cahaya
Pohon dengan kabut bernyanyi lagu sendu
Kunang-kunang melukis duka
Berlarilah sebisa kaki melesat
Teriaklah semampu pita suara bergetar
Karena benang akan tertarik dan terikat
Simpul kecil yang tersamar
Hanya akan terlihat jika tersinar temaram lampu kamarku
Katakan,
Aku tidak sedang menangisi sesuatu
Duduk di sudut tempat tidur
Melipat kedua kaki dan melihat bulan
Sepenuh susu di gelas
Aku tak membencimu..

Rabu, 18 April 2012

TAK ADA LIMIT dalam IMAJINASI

"Imagination is not a talent of some people. But is the health of every person"

- Ralph Woldo Emerson -

 
      Tidak ada yang salah jika kita berbicara tentang imajinasi. Karena imajinasi itu luas tanpa batas. Menurutku, imajinasi itu seperti laut. Kita dapat melihat garis batas antara langit dan air laut. Tetapi pada kenyataannya garis tersebut bukanlah sebuah garis pembatas. Garis itu hanyalah garis semu yang memanipulasi mata kita dan memberikan batas atas apa yang kita sebut sebagai "tempat yang tidak terjangkau oleh mata". Ketika pandangan kita membentur garis tersebut, yang sering kita lakukan adalah memfokuskan pandangan kita pada benda lain yang ada di sekitarnya, seperti perahu. Begitu pun dengan imajinasi. Seperti yang sudah aku katakan tadi, imajinasi tidak memiliki batas. Manusia sendiri lah yang menarik garis batas tersebut. Garis itu semu seperti garis batas antara langit dan air laut. Sebenarnya hal tersebut tidak menjadi masalah besar selama kita tahu kapan garis batas itu harus ditarik dan kapan tidak. Kebanyakan orang merasa bahwa daya imajinasi mereka tidak setinggi orang-orang yang lainnya karena mereka merasa kurang bisa menciptakan gambaran-gambaran hidup yang kemudian terangkai menajadi satu kesatuan sebuah cerita. Kata-kata yang paling sering aku dengar adalah, "Wah, aku nggak bisa berimajinasi lagi kaya waktu aku kecil dulu. Bisa sih, tapi nggak bisa-bisa banget". Begitu pun ku. Ada saat dimana imajinasiku dilanda kemarau. Tak ada gambaran atau bayangan yang terlintas di otakku. Kering. Semakin aku memaksa untuk berimajinasi, semakin panas otakku, semakin kering lahan imajinasiku. Parahnya lagi, saat dimana imajinasiku dilanda kemarau adalah saat dimana aku sangat membutuhkan imajinasi itu untuk menulis atau memecahkan persoalan yang membutuhkan imajinasi kuat. Lalu apa yang aku lakukan ketika saat itu terjadi? Yang pertama kali kulakukan adalah "meletakkan pulpenku di atas meja dan berhenti berpikir". Yang kumaksud dengan "berhenti berpikir" di sini bukan menyerah. Tetapi berhenti memaksa otak untuk berimajinasi karena semakin kita memaksa, bukan hasil yang baik yang kita dapatkan, melainkan sebuah kepenatan akibat tempaan keras yang diterima otak. Seperti kata pepatah, "Imagination comes, works when you're not trying, when you have a peculiar passive clarity".
Sebarnya apa sih IMAJINASI itu?
      Imajinasi adalah kekuatan atau proses menghasilkan citra mental dan ide. Istilah ini secara teknis dipakai dalam psikologi sebagai proses membangun kembali persepsi dari suatu benda yang terlebih dahulu diberi persepsi pengertian. Sejak penggunaan istilah ini bertentangan dengan yang dipunyai bahasa pada umumnya, beberapa psikolog lebih menyebut proses ini sebagai "menggambarkan" atau "gambaran" atau sebagai suatu reproduksi yang bertentangan dengan imajinasi "produktif" atau "konstruktif". Gambaran citra dapat didefinisikan sebagai sesuatu yang dilihat oleh mata pikiran.
      Kita seringkali salah persepsi dalam memahami makna imajinasi. Dalam kenyataannya, imajinasi adalah sebuah kerja akal dalam mengembangkan suatu pemikiran yang lebih luas dari apa yang pernah dilihat, dengar, dan rasakan. Dengan imajinasi, manusia mengembangkan sesuatu dari kesederhanaan menjadi lebih bernilai dalam pikiran. Ia dapat mengembangkan sesuatu dari cptaan Tuhan dalam pikirannya dengan tujuan untuk mengembangkan suatu hal yang lebih bernilai dalam bentuk benda, atau sekedar pikiran yang terlintas dalam benak.

    

Rabu, 21 Maret 2012

30 MENIT (written by Sei)

30 Menit
Written by FR.KL


“Apa kabar, Yud?”
“Buruk. Kepalaku rasanya semakin berat saja. Kenapa, Dok?”
”Tak apa, aku hanya memastikan saja. Ingat, jangan tidur terlalu malam sore ini. Kondisimu semakin memburuk dari hari ke hari, Yud.”
”Ya, aku tahu, Dok.”
”Yud, berhenti memanggilku Dok! sudah berapa kali aku katakan padamu, aku Sigit, sahabatmu satu kelas di SMA dan sahabat seperjuangan di Fakultas Kedokteran. Jadi tak perlu ada formalitas diantara kita, mengerti? Lagipula kau sendiri adalah seorang Dokter, bukan?”
”Dokter Yudha, spesialis ginjal. Hahaha, lucu, Git. Sudah lama rasanya aku tak dipanggil dengan gelar seperti itu.”
”Kau memang tak pernah berubah, Yud, masih sama seperti dulu. Meskipun kau kehilangan banyak darah dalam insiden tiga hari yang lalu. Semangatmu masih sama dengan Yudha yang biasanya aku kenal.”
”Benarkah? Hmm, mungkin aku menjadi sedikit gila gara-gara masalah itu. Sehingga tanpa sadar aku melepas begitu saja selang infusku kemarin dari tanganku. Dan membiarkan pembuluh arteriku terbuka semalam suntuk.”
”Sudahlah, Yud, tak usah kau pikirkan lagi masalah itu. Dia sudah pergi, tak ada gunanya kau sesali. Aku tahu yang kau rasakan, tapi mau bagaimana lagi. Sudahlah.”
”Ya. Aku tahu. Terimakasih, Git.”
”Lekas istirahat, jangan terlalu sering memikirkan hal yang tidak penting. Ya sudah, aku tinggal dulu. Lekas sembuh.”
Sore itu aku kembali dalam kesendirianku di kamar nomor 10 ini. Ingatanku seakan flashback ke masa-masa dulu SMA yang aku alami. Gila. Ya, satu kata yang menggambarkan bagaimana aku menjalani hari-hari menjelang kelulusan dulu. Sampai sekarang aku masih belum bisa melupakannya. Rissa, ia hampir telah mengambil sebagian besar dari kehidupanku. Dan setelah lulus pun, ia meninggalkan aku begitu saja. Seakan tak pernah terjadi apa-apa di antara kita.
Hari demi hari aku lalui selama ini tanpa ada kabar lagi darinya. Terakhir aku dengar dari Sigit, ia telah bahagia bertunangan dengan Rusli, sahabatku yang dulu juga pernah menjadi teman sepermainanku. Kala itu, Sigit bertanya padaku,
“Yud, kau masih menyimpan liontin hati dari Rissa?”
”Ya, kenapa? Hanya itu yang tersisa dari dia untukku.”
“Kau tak ingin membuangnya? Ia telah bertunangan dengan Rusli.”
“Jangan menyuruhku melakukan sesuatu yang jelas-jelas takkan pernah aku lakukan. Git, tanpa kau beritahukan padaku pun aku sudah menduga hal itu akan terjadi.”
“Lalu kenapa kau masih mengharapkannya datang menemanimu pada 2 hari terakhirmu, Yud?”
“Entahlah, aku harap masih ada sisa bayanganku di hatinya.”
“Kalau tidak?”
“Aku hanya akan diam. Dan menunggu kehadirannya, sampai waktuku tiba.”
“Yud, andai waktumu masih panjang, mungkin kau masih sempat menyaksikan orang yang kau cintai menikah dengan orang yang dicintainya.”
“Aku tak berharap itu, Git. Yang ada tubuhku akan semakin merasakan sakit bila melihatnya. Cukuplah ia bahagia tanpa mengetahui kondisiku yang sebenarnya.”
“Yud, semoga ia dapat merasakan penderitaanmu saat ini.”
“Tidak, aku hanya mengharapkannya datang padaku, walaupun kehadirannya nanti mungkin bertepatan pada sisa 30 menit hidupku di dunia.”
Hanya itu yang mampu aku ucapkan tatkala mendegar kabar gembira itu dari mulut Sigit. Aku terdiam. Terhenyak. Tapi ada sedikit rasa bahagia dalam diriku ketika mendengar Rissa sebentar lagi akan menikah dengan Rusli, orang yang selama ini hadir dalam mimpi Rissa dan menemani hari-hari bahagianya tanpa kehadiranku di sampingnya.
Tanpa aku sadari kepalaku terasa semakin sakit. Jantungku berdegup kencang sekali. Aliran darahku terasa tak beraturan karena penyempitan di pembuluh arteriku seakan semakin menjadi-jadi. Sial, penyakit jantung koroner ini membuatku semakin tersiksa lagi.
”Dokter Sigit, pasien di kamar nomor 10....”
Ya. Sudah aku duga. Segera siapkan selang oksigen dan ruang operasi.”
Belum sempat seorang perawat melaporkan kondisiku saat itu, Sigit telah mengerti tentang apa yang terjadi padaku. Ia memang sahabat yang mengerti aku sepenuhnya. Sampai pada penyakitku pun ia mempelajarinya sejak SMA dan akhirnya kinipun aku benar-benar menjadi pasiennya.
”Terlambat, kondisinya sudah sangat tidak memungkinkan.”
Samar-samar aku dengar suara lirih dari Sigit. Dan tanpa sadar, seakan ada kekuatan yang mendorongku untuk berkata-kata, mulutku pun terbuka dan mulai bertanya.
”Git, berapa sisa waktu yang aku punya?”
”Cukup YUD! Jangan memforsir tenagamu lagi, walau hanya untuk berbicara satu kata pun!”
”Tak apa, Git. Katakan saja.”
”Baiklah, waktumu hanya tersisa 30 menit saja. Lalu apa rencanamu?”
”Entahlah. Ia tak datang?”
”Siapa?”
”Rissa.”
”...”
Sigit hanya terdiam saat aku menyebut nama Rissa. Ia tak tahu apa yang harus dilakukan. Ia tahu, hanya Rissa yang mampu membahagiakanku di akhir 30 menit hidupku ini. Entah apa yang terjadi berikutnya, aku tak mampu merasakan lagi.
Penglihatanku tiba-tiba menjadi tidak jelas. Tanganku gemetaran. Aku mati rasa. Yang bisa aku lakukan sekarang hanyalah mendengar, melalui indera pendengaranku yang juga semakin menurun kemampuannya.
”Ri..Rissa?!”
Sayup-sayup aku mendengar Sigit menyebut nama Rissa. Aku tahu aku tak mampu mendengar dengan jelas lagi, tapi suara Sigit terlalu nyaring untuk tidak terdengar oleh telingaku.
”Apa aku terlambat, Git?”
”Tidak, kau datang tepat pada 30 menit sisa hidupnya. Tapi terlambat bila kau ingin menyampaikan sesuatu padanya. Ia sudah seperti mayat hidup. Tak mampu menggunakan semua inderanya lagi.”
”Separah itukah..?”
“Ya. Dan ia mengharapkan kehadiranmu disisinya, walau hanya sebentar, sebelum ia pergi meninggalkan dunia, Ris.”
“Yudha, aku takkan pernah meninggalkan dia. Dan sekarang dia yang akan pergi meninggalkan aku selamanya. Git, andai ia masih mampu mendengar. Aku ingin menyampaikan kabar yang mungkin selama ini ia tunggu-tunggu.”
”Percuma Ris, tak ada gunanya kau sampaikan saat ini. Sudahlah, kau tunggu
saja di kursi depan. Biarkan aku melakukan penanganan terakhir pada Yudha.”
“Tapi.. Pesanku ini adalah obat yang selama ini ia butuhkan, Git”
Sigit bodoh! Aku masih bisa mendengar percakapanmu dengan Rissa! Andai kau tahu, Git, aku ingin mendengar suara Rissa lebih lama lagi. Biarkan ia menyampaikan kabar yang ingin disampaikannya padaku itu!
”Git, apakah kau menyampaikan pada Yudha tentang pertunanganku dengan Rusli?”
”Ya. Aku dengar dari teman-teman sekelas kita dulu. Katanya sebentar lagi kau akan menikah dengan Rusli.”
”Kapan kau mendengar kabar itu?”
”Sekitar seminggu yang lalu.”
”Bodoh. Kau tahu, aku telah membatalkan pertunanganku dengan Rusli.”
“Hah? Tapi, mengapa?“
“Entahlah. Mungkin karena hatiku telah berkata tentang sesuatu.”
”Dan hanya karena itu saja kau membatalkan pertunanganmu dengan Rusli?”
”Ya. Kenapa? Aku benar-benar yakin dengan kata hatiku, Git.”
”Ris, bolehkah aku tahu sesuatu yang dikatakan hatimu itu?”
”Tentu saja. Semoga Yudha juga mendengarnya.”
”Aku rasa ia masih bisa mendengar, Ris.”
Aku masih disini, Rissa!
Aku masih bisa mendengarmu. Cepatlah katakan padaku, sebelum malaikat pencabut nyawa datang menghampiriku!
”Yudha, kau adalah lelaki yang seharusnya aku pilih sejak dulu. Kau adalah sosok yang sebenarnya selama ini aku butuhkan untuk melengkapi hidupku. Tolong, jangan pergi meninggalkan aku sendiri tanpamu lagi. Aku mencintaimu, Yud.”
Aku pun mencintaimu, Rissa. Tubuhku tak mampu bergerak lagi. Nyawaku seperti diangkat dari tubuhku. Selamat tinggal, Rissa.

Senin, 19 Maret 2012

CITA-CITA. "Apa cita-citaku?"

Setiap manusia pasti memiliki impian dan cita-cita yang digenggam erat di kedua tangannya. Tak kan membiarkannya lepas atau menguap bersama udara. Impian dan cita-cita itu seperti jantung yang senantiasa berdetak memompa darah semangat ke setiap detail tubuh manusia. Membangunkan manusisa dalam lelapdan membuat mereka berlari untuk mengejarnya. Tetapi bukan hal yang mudah untuk menggenggam impian dan cita-cita itu di genggaman tangan. Ada kalanya angin bertiup membawa serbuk-serbuk duka ketika bunga-bunga kehidupan bermekaran. Ada kalanya hujan lebat menumbangkan raga yang telah berdiri tegak menentang badai ketidak pastian. Ada kalanya pula ombak mengikis karang semangat yang sebelumnya gagah berdiri melawan buih. Ya. Tak semudah itu menggenggam impian dan cita-cita agar tetap berada di genggaman. Menggenggamnya tak semudah menggenggam pasir pantai yang halus dan padat. Tetapi menggenggap impian dan cita-cita ibarat menggenggam seciduk air. Kita tak kan bisa menggenggamnya. Tidak tidak. Bukan tak bisa. Ada cara untuk melakukannya jika kita tahu bagaimana cara tersebut. Apabila kita mendenotasikan kalimat tersebut dengan benar-benar mengambil seciduk air lalu menggenggamnya, tentu hal tersebut merupakan suatu kemustahilan. Tapi bagaimana jika kita melakukan sesuatu pada seciduk air itu terlebih dahulu? Yaitu dengan membekukannya. Bisakah kita menggenggamnya setelah itu? Ya. Setelah air didinginkan dalam suhu minus, maka ia akan berubah menjadi bongkahan es. Air yang telah bermetamorfosis menjadi bongkahan es akan dapat kita genggam. Begitu pula dengan impian dan cita-cita. Apabila kita hanya memiliki sketsa atau gambaran mengenai impian dan cita-cita atau dapat dikatakan sebagai bahan mentah tanpa ada realisasi yang nyata untuk dapat meraihnya, maka sulit sekali untuk meraih impian dan cita-cita itu di genggaman kita yang dapat kita ibaratkan seperti mustahilnya menggenggam seciduk air. Lalu apa yang harus kita lakukan? Seperti air yang bermetamorfosis menjadi bongkahan es. Air perlu di masukkan ke dalam cetakan atau kantung plastik. Mengikatnya dengan kencang agar tidak tumpah. Mendinginkannya hingga suhu minus yang dapat mematikan syaraf. Air harus melalui serangkaian tahap dan tempaan hingga menjadi es batu. Dan itulah yang harus kita lakukan pada impian dan cita-cita kita. Tempa impian dan cita-cita itu agar mudah untuk kita genggam. Memang bukan suatu hal yang mudah. Proses itu membutuhkan banyak pengorbanan dan keringat. Tapi percayalah, setiap tetes keringat yang kita keluarkan hari ini akan berbuah manis di masa depan.
Seperti yang aku katakan tadi, aku pun memiliki impian dan cita-cita yang selama ini berdenyut bersama nadiku. Satu irama bersama detak jantungku. Hanya saja aku masih ragu-ragu dengan impian dan cita-citaku ini. Sebenarnya karena aku merasa kurang memiliki kemampuan untuk dapat menggenggam dan meraih impian serta cita-cita itu dalam genggamanku. Sejauh ini, aku merasa kurang optimal dalam menempa diriku sendiri untuk dapat meraih apa yang aku inginkan di masa depan. Lagi-lagi karena ragu-ragu. Sepertinya aku memiliki penyakit ragu-ragu yang kronis. Selalu ragu-ragu dalam menentukan sesuatu. Hff. Nah, ini dia list cita-cita dan bagaimana aku menempa diriku untuk dapat menggenggam dan meraih impian itu dalam genggamanku-yang beberapa hari lalu aku buat. 

No.
WHO WILL I BE
WAY TO REACH
1
PENULIS
*      Mulai menulis dari HARI INI
*      Buat cerpen (1 minggu min. 1 karya)
*      Kirim ke koran
*      Buat puisi (2 hari sekali)
*      Nulis diary (setiap hari)

Final achievement :
BUAT NOVEL
2
No other plan
-
3
No other plan
-
4
No other plan
-
5
No other plan
-
6
No other plan
-
7
No other plan
-

See? Kasihan sekali aku yang hingga saat ini masih kesulitan dalam merumuskan impian dan cita-cita untuk masa depanku. Apa yang dapat kusimpulkan dari masalahku ini adalah bahwa kesulitan tersebut merupakan  buah dari ketidak maksimalan aku untuk mengenal diriku lebih dalam. Lalu, apa yang harus kulakukan untuk lebih mengenal diriku sendiri?
Apa yang harus kulakukan untuk lebih mengenal diriku sendiri adalah :
1.  Membuat list mengenai sifat-sifatku (sifat baik dan buruk)
2.  Membuat list mengenai apa yang aku suka dan tidak
3.  Membuat list mengenai apa yang ingin kucapai di masa depan dan cara meraihnya
     (rencana jangka panjang)
4.  Membuat list mengenai apa yang ingin aku capai dalam waktu-waktu dekat ini (recana jangka pendek)
5.  Membuat list mengenai hal-hal yang membuat prestasi belajarku menurun dan cara mengatasinya
6.  Membaca ulang list-list yang telah dibuat dan mengevaluasi diri sendiri

Untuk dapat mencapai impian dan cita-cita demi masa depan yang cerah, ayo semangat! Aku pasti bisa! :)

 ** GANBATTE KUDASAI **


Jumat, 02 Maret 2012

HUJAN DAN SEI (Posting Cerita ke-2)

HUJAN DAN SEI..
Hujan. Adalah salah satu peristiwa alam yang menjadi trending topic akhir-akhir ini. Kedatangannya dinanti ketika sang kemarau mulai merasa nyaman duduk di singgahsana musim dunia. Tetapi ketika hujan sudah datang, ia justru membawa masalah bagi sebagian orang yang bersahabat dengan satu bencana yang bernama ”banjir”. Lepas dari itu, hujan tetap memiliki pesona tersendiri. Bukan hal baru jika hujan selalu dikaitkan dengan sesuatu yang bersifat romantis. Hujan memiliki sihir yang bahkan dapat merubah orang berwatak keras menjadi sentimentil. Pesona hujan menghipnotis kita menjadi pribadi yang melankolis. Hujan akan mengangkat endapan kenangan yang mulai mengeras di dasar pikiran kita. Entah kenangan bahagia atau kenangan pahit tentang kehidupan masa lampau yang tak ingin kau ingat atau bahkan kau hapus.
Hari ini hujan dan kenangan tentang seseorang yang telah lama mengendap di dasar pikiranku kembali muncul. Terapung-apung dan mengirisku tipis-tipis. Kenangan tentang seseorang yang kusimpan rapat-rapat dalam di dasar hati, di ruang tak berpintu agar ia tak bisa keluar. Seseorang yang kutemui di pagi yang cerah dan di malam-malam gelap - seseorang yang kusebut Sei. Sei yang penuh semangat. Sei yang pandai. Sei yang cemerlang. Sei yang melambungkanku ke padang awan putih. Dan Sei yang menjatuhkanku hingga ke lapis tanah ke tujuh.
Suatu malam di bulan April, beberapa hari sebelum Sei pergi meninggalkan kota kecil di mana kami tinggal. Malam yang gelap dan berawan. Aku dan Sei berkeliling menyusuri jalanan kota dengan sepeda motornya. Di belakang kemudinya, aku dapat melihat tubuh Sei yang kurus dan tinggi. Aku dapat mencium aroma parfumnya yang begitu lekat di hidungku dan membuatku candu. Kemudian hujan turun perlahan. Titik-titik, kemudian menjadi besar. Motor terus melaju. Meninggalkan pepohonan yang mengecil dan terkabur hujan, meninggalkan lusinan motor lain yang terus berlalu lalang. Dalam hati aku bertanya, “Mengapa aku menyukai, Sei?”. Belum selesai aku berpikir, tiba-tiba aku merasakan tangan Sei terulur meraih tanganku ke genggamannya.  “Jangan menyukai laki-laki sepertiku, Ai” katanya lirih. Tapi telingaku dapat menangkapnya dengan jelas walau di sela gemerisik hujan. “Aku datang dalam hidupmu. Memberimu sepenggal cerita. Kemudian meninggalkanmu dengan wanita lain. Mengapa kau tak marah padaku? Mengapa kau tak membenciku?” katanya dengan suara yang semakin lirih. Mataku memanas. Air mata yang sejak tadi kutahan mengalir tak terbendung lagi. Tapi Sei tak akan tahu karena hujan mengaburkan air mataku. Ya, hujan menyapunya hingga tak berbekas. “Sei, tanganmu dingin sekali” kataku mengalihkan pembicaran, berharap Sei mengerti bahwa aku sedang tak ingin membicarakan hal itu. Tapi Sei hanya membisu, diam tanpa kata. Dingin seperti hujan yang menghujam bumi.
Kemudian Sei menghentikan motornya di bahu jalan. Di bawah binar lampu pucat Sei berkata, “Jangan menangis lagi. Bagaimana jika nanti aku pergi? Bagaimana jika nanti aku tak ada di sampingmu tetapi bersama yang lain? Oh, Ai..” Sebelum ia menyelesaikan kalimatnya, aku berkata, “Aku tetap menyukaimu, Sei. Hari ini, esok, dan  untuk waktu yang tak terbatas. Esok kau akan pergi  dan melupakanku. Tak apa. Tapi bagiku, Sei selalu ada di sini. Di dalam hatiku..”
Waktu terus berjalan. Aku tak pernah bertemu Sei sejak malam itu. Tapi bayangan Sei selalu datang. Datang ketika hujan menghujam bumi. Aku tetap menyukai Sei. Seperti aku menyukai hujan.(ast)



Jumat, 24 Februari 2012

Apa Kita Pernah Bertemu Sebelumnya? (Posting cerita pertama)

APA KITA PERNAH BERTEMU SEBELUMNYA?
Jika orang bertanya pernahkah aku menyukai seseorang, tentu jawabanku akan sama dengan orang-orang kebanyakan. Setiap orang memiliki kisah cintanya masing-masing yang satu dengan lainnya tentu tak akan sama.  Begitupun juga denganku.
Aku bertemu dengannya jauh sebelum aku benar-benar melihatnya.  Maksudku, aku sudah bertemu dengannya di tempat lain. Aku pernah bertemu dengannya dalam pikiran masa kecilku. Ketika itu aku yang matanya belum terbuka penuh untuk melihat dunia mendapatkan suatu bayangan.  Bayangan itu menari-nari di dalam benakku dan terus menari untuk waktu yang cukup lama. Bayangan tentang sekelebat wajah seseorang yang buram tapi masih dapat kulihat dan kurasakan. Aku dapat melihat posturnya yang kurus, kulitnya yang putih, serta rambutnya yang lurus kecoklatan. Aku dapat melihat sifat yang bagiku tergambar jelas pada setiap garis tubuhnya. Aku juga dapat merasakan bahwa suatu saat nanti, entah kapan dan di mana aku akan mengenalnya. Ya. Akan. Tapi ingatan itu perlahan-lahan tertutup memori-memori baru yang setiap harinya tergores hingga akhirnya terlupakan begitu saja.
Sampai 5 tahun lalu. Ketidak beruntunganku membuatku sulit bertemu dengannya.  Ia teman sahabatku yang ketika itu berusaha menunjukkan kepadaku orang yang ia ceritakan selama ini. Tetapi ketika aku datang, ia pulang. Ketika aku hadir, ia tidak. Begitupun sebaliknya.  Jadi selama setahun setelah aku mendengar namanya dari sahabatku aku selalu gagal untuk melihatnya. Tapi kemudian dewi Fortuna memberikan keberuntungannya kepadaku. Aku bertemu dengannya di suatu pagi yang cerah. Aku melihat sosok kurus dengan tinggi rata-rata laki-laki pada umumnya berdiri di hadapanku. Aku melihat kulitnya yang putih.  Rambut lurusnya yang kecoklatan terpantul semburat sinar matahari pagi. Indah. Saat itu jantungku seperti berhenti berdetak. Aku tersedot kembali ke masa lalu dimana aku pernah melihatnya dalam bayangan masa kecilku. ”Apa kita pernah bertemu sebelumnya?” Maksud hati ingin bertanya. Tapi pertanyaan itu menggantung begitu saja di sudut bibirku dan menguap di udara. Jadi aku hanya mematung di tempat di mana aku berdiri.
Kemudian cerita demi cerita mengalir begitu saja. Seperti sungai dengan riak-riaknya yang tak terduga. Aku tidak tahu bagaimana cerita diantara kami dimulai dan mengapa terus berjalan seperti tidak ada akhir.
Ia seperti angin. Datang ketika hidupku sedang tidak baik-baik saja dan menyejukkanku hingga ke sendi-sendi kehidupanku yang belum terjamah oleh siapapun. Ia seperti air yang tak dapat ditebak kemana dan bagaimana ia akan mengalir. Matanya seperti hutan gelap yang penuh dengan misteri. Tajam. Tegas. Menuntut kejujuran. Dan aku tak pernah berani untuk memandang matanya lama-lama.
Satu hal yang pasti dan tak pernah kuragukan adalah aku mencintainya. Tapi hal lain yang sama pastinya ialah bahwa ia tidak pernah mencintaiku. Mungkin bukan “tidak”, tapi “belum”. So, let me rephrase it. Dia bukan tidak pernah mencintaiku, tapi dia belum mencintaiku.
Tetapi mengapa untuk waktu yang selama ini ia belum dapat mencintaiku sebagaimana aku mencintainya?  Lalu apa arti labirin-labirin cerita membingungkan di antara kami?  Hingga saat ini aku masih menunggu bagaimana Tuhan akan menunjukkan jalan-Nya dan memberikan jawaban atas semua pertanyaan yang tak terjawab.(ast)

Rabu, 02 November 2011

Sei..

 
 
 
maafkan aku tak bisa memahami maksud amarahmu
membaca dan mengerti isi hatimu
ampuni aku yang telah memasuki kehidupan kalian
mencoba mencari celah dalam hatimu
aku tahu ku takkan bisa
menjadi seperti yang engkau minta
namun selama nafas berhembus aku kan mencoba
menjadi seperti yang kau minta

ampuni aku yang telah memasuki kehidupan kalian
mencoba mencari celah dalam hatimu

aku tahu ku takkan bisa
menjadi seperti yang engkau minta
namun selama nafas berhembus aku kan mencoba
menjadi seperti yang kau minta

dan aku tahu dia yang bisa
menjadi seperti yang engkau minta
namun selama aku bernyawa aku kan mencoba
menjadi seperti yang kau minta

oooh namun selama ku bernyawa
ku coba seperti yang kau minta

seperti yang kau minta
namun selama nafas berhembus aku kan mencoba
ooh menjadi seperti yang kau minta
namun selama aku bernyawa ku kan mencoba
menjadi seperti yang kau minta
ku kan mencoba menjadi seperti yang kau minta



Semoga aku mempunyai kesempatan bersamamu lagi, Sei..